Senin, 25 Januari 2010

Untaian Permata Hijau Tidore dan Ternate

Punya uang seribu rupiah? Oow.. tenang aja. Saya bukannya mau minta duit. Bukan.. bukan itu permintaan saya. Saya ingin Anda memperhatikan gambar pada uang seribu rupiah yang sedang Anda pegang. Lihatlah pada gambar dua buah pulau yang berada di latar sebuah perahu nelayan. Ada keterangan di sudut kiri atas. Bunyinya, “Pulau Maitara dan Tidore”. Nah, selama tiga hari yang lalu, saya berkesempatan berada di pulau yang muncul sebagai ilustrasi pada alat tukar keluaran Bank Indonesia itu.



Image courtesy Fiona Angelina (c)

Tapi dari tempat saya menginap di Ternate, pandangan pada posisi pulau-pulau tersebut terbalik. Pulau Maitara di sebelah kanan, dan Pulau Tidore di sebelah kiri. Saya sempat mendiskusikannya bersama teman perjalanan. Kesimpulan kami, gambar di uang tersebut diambil dari laut lepas, bukan dari daratan Ternate. Dugaan ini dikuatkan juga dengan foto yang saya lihat di indahnesia.com, superbayek@MP serta pengakuan Pak Yoanes. Posisi pulau Maitara dan Tidore pada foto itu sudah hampir mirip dengan uang seribu rupiah, tapi untuk mendapatkan persepsi yang sesuai sepertinya memang harus dilihat dari sisi laut lepas.


Image courtesy Yoanes Bandung (c)

Sayang, Bang Pay yang babu negara seperti saya itu , sudah pindah penempatan ke Manado. Padahal dari orang yang sudah tinggal selama 3 tahun di Ternate, saya mengharapkan cerita pengalaman dan guide ke tempat-tempat yang menarik. Ah cukuplah blog-blogmu itu menceritakan duka dan kesedihanmu bang.. hehehe..

Seumur-umur nggak pernah kebayang deh bakalan melakukan perjalanan sejauh ini. Apalagi status saya yang cuman Turis Dinas kelas rendahan yang nggak bisa memilih tujuan dinas. Kalau diingat-ingat, saya lebih sering ditugaskan ke daerah yang relatif sulit dijangkau. Tahun lalu saja saya berkesempatan bertugas mengunjungi lokasi-lokasi yang butuh perjuangan ekstra untuk mencapainya: Tanah Bumbu, Pangkalan Bun, Ketapang dan Paser .

Nah kali ini, saya ditugaskan ke Kota Tidore. Tanah kelahiran Sultan Nuku dan Sultan Baabullah. Tanah air para pejuang. Bahkan Kesultanan Tidore pada masa kejayaannya memiliki kekuasaan sampai dengan Papua. Sampai-sampai terlontar pujian kebanggan dari Bung Karno, “Kalau bukan karena Tidore, tidak ada lagu dari Sabang sampai Merauke”.

Perjalanan kali ini memang berat. Bahkan sejak keberangkatan dari Jakarta. Saya harus berangkat pagi buta ke bandara untuk mengejar penerbangan jam 5. Jadwal penerbangan jam 5 itu menurut saya paling berat. Lebih berat dari penerbangan ke Papua jam 2 pagi. Kalau penerbangan jam 2, kita bisa berangkat dari rumah jam 9. Saat taksi dan angkutan umum lainnya masih beroperasi. Lha ini penerbangan jam 5, kalau berangkat jam 9 masih terlalu lama menunggu. Tapi berangkat jam 3 pagi butuh niat ekstra untuk bangun, dan usaha ekstra mendapatkan transportasi umum.

Setelah transit sebentar di Makassar, rombongan kami yang terdiri dari 3 orang itu, melanjutkan penerbangan ke Bandara Sultan Baabullah di Ternate dengan pesawat Foker. Dan saat-saat menjelang pendaratan benar-benar memukau. Rasa penat penerbangan selama 3,5 jam (plus waktu transit, total 6 jam perjalanan) terbayar sudah. Kami disuguhi pemandangan untaian pulau-pulau bak permata berbalut jernihnya laut biru. Semakin mendekati pantai, gradasi warna air laut turut menyambut pesawat kami. Dimulai dari biru pekat, memudar menjadi biru muda, dan terus semakin kehilangan pigmen hingga menjadi putih pasir. Suasana tambah memikat hati karena semua keindahan itu saya lihat diiringi alunan suara murottal Musyari Rasyid.

Kota Ternate mencakup seluruh pulau Ternate. Luasnya tak kurang dari setengah juta kilometer persegi. Semua aktivitas warga dilakukan di kaki gunung Gamalama. Dari nama gunung inilah Dorce mengambil nama. Gunung yang sempat meletus pada tahun 2003 ini, berdiri angkuh mengawasi semua kegiatan di bawahnya. Diliputi awan-awan stratus tipis, Gamalama turut menjadi saksi perebutan kursi Gubernur Maluku Utara.

Di sini, mayoritas wanita berjilbab. Bahkan seorang wanita bercadar ala burqa duduk tepat di belakang saya dalam penerbangan ini. Jejak syiar Islam terlihat di mana-mana. Sebuah masjid besar di pinggir pantai sedang dibangun oleh Pemda Kota Ternate. Di depan masjid-masjid yang tersebar di seluruh pulau, biasanya terdapat papan peringatan untuk menghormati orang yang sedang beribadah.

Malamnya, kami menikmati deretan penjaja makanan yang berjajar di tepi pantai Swering. Usai makan, kami menikmati sejenak sepoi angin laut di Swering. Swering adalah semacam tanggul penahan ombak yang memanjang sampai beberapa kilometer. Di atasnya, terdapat lahan luas yang dimanfaatkan sebagai pusat kuliner di malam hari. Di tanggul itu pula orang-orang bisa duduk dan menikmati laut. Bahkan sampai lewat tengah malam pun orang-orang masih bertahan di sana.

Hari kedua penugasan, kami menyeberang dari Ternate ke Tidore. Diantar sebuah speedboat yang bertolak dari Pelabuhan Bastiong, kami membelah laut yang memisahkan dua pulau itu hanya dalam tempo tujuh menit untuk kemudian merapat ke Pelabuhan Rum di Tidore. Di Rum, saya seolah melihat akuarium raksasa. Air laut di sana, Masya Allah, jernih sekali. Saking jernihnya saya bisa melihat dasar laut, dan juga ikan-ikan kecil yang berenang berkelompok melenggak-lenggok membiarkan dirinya dibawa arus air laut.Pandangan menembus air itu sensasinya bak melihat akuarium raksasa yang rajin dikuras dan dibersihkan serta dirawat oleh Pemiliknya.

Tidore lebih sepi daripada Ternate. Konturnya tak jauh beda dengan Ternate, yaitu sebuah pulau dengan gunung di pusatnya. Gunung Tidore bukanlah gunung aktif seperti Gamalama. Karakternya yang tenang diwariskan pada penduduk pulau ini. Kami pun menyusuri jalan lingkar pulau yang lazim disebut jalan Round untuk menuju komplek pemerintahan di Soa Sio. Dari Pelabuhan Rum, Kota Soa Sio berada di sisi sebaliknya dari pulau Tidore dan dapat dicapai dalam waktu setengah jam bermobil.

Pemandangan dari rumah dinas dan kantor pemerintahan menghadap ke laut lepas.

Pulang dari Tidore, kami sempat terhalang oleh demonstrasi di Kantor Gubernur Maluku Utara. Konflik Pilkada yang berlarut-larut membuat roda pemerintahan Provinsi terhambat. Beberapa berpendapat, konflik ini gara-gara orang luar Maluku Utara. Tentu yang dimaksud adalah Pak Mendagri Mardiyanto. Kata orang-orang itu, kalau urusan diserahkan pada orang Makuku Utara sendiri, sudah selesai dari dulu.

Dalam penerbangan pulang, saya melihat pramugari sedang membuka ponsel di atas pesawat. Hehehe.. setuju! Belum ada pembuktian ilmiah mengenai pengaruh sinyal ponsel terhadap sistem navigasi atau apapun dari pesawat. Malah, pembuktian membuktikan amannya menggunakan ponsel. Hanya saja ketika kita terbang terlalu tinggi, tidak ada sinyal. Tapi saya baru berani menyalakan ponsel kalau menggunakan pesawat propeler alias berbaling-baling. Kalau menunggang pesawat jet yang alatnya canggih, saya masih mematikan ponsel.

Aaarrgghhh… perjalanan pulang ke Jakarta benar-benar melelahkan. Kami harus transit dua kali. Penerbangan connecting siang hari ternyata menuntut kami untuk mendarat di Manado dan Makassar. Hasilnya, badan pegal-pegal dan mood jadi buruk. Badan sudah terlalu capek untuk dibawa tidur, mata sudah terlalu lelah untuk membaca, batere mp3 player sudah terlalu lemah untuk memperdengarkan alunan murottal. Dan lagi di Jakarta kami tidak mendapati pemandangan indah seperti di Maluku, malah disambut dengan kemacetan sepulang kerja.


Sumber :
Abu Abbas
http://www.uliansyah.or.id/2008/07/11/untaian-permata-hijau-tidore-dan-ternate/
11 Juli 2008

1 komentar:

  1. maaf ya kalau buat anda tersinggung infonya blog anda bagus cuman tampilannya kurang menarik, kalau mau boleh lihat tampilan blog di alamat ini. http://blog-malut.blogspot.com/. kalau anda mau saya kasih skripnya dan anda saya kirimkan kasih info di alamat imel ini. " isbatusman@gmail.com" Trims semoga sukses. Amin Majulah Maluku utara.

    BalasHapus